Sejarah Berdirinya Bani Abbasiyah
Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah
adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani
Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan
penguasa Dinasti ini
adalah keturunan Abbas, paman nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah
didirikan oleh
Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbass.
Dia dilahirkan di
Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada
tanggal 3 Rabiul awwal
132 H. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari tahun
750-1258 M.
Pada abad ketujuh terjadi
pemberontakan diseluruh negeri. Pemberontakan yang
paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni
perang antara
pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti
Bani Umayyah).
Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya
negeri Syiria,
berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu
bangkitlah kekuasaan
Abbasiyah.
Kebijakan Penguasa dalam bidang keilmuan
Puncak perkembangan
kebudayaan dan pemikiran islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah.
Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreatifitas Bani Abbasiyah
sendiri. Sebagian diantarannya sudah dimulai pada awal kebangkitan islam.
Lembaga pendidikan sudah berkembang, ketika itu lembaga pendidikan ini terdiri
dari dua tingkat :
Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah tempat anak-anak mengenal dasar-dasar
bacaan, hitungan dan tulisan, dan tempat para remaja belajar dasar-dasar agama,
seperti tafsir, hadis, fiqh, dan bahasa.
Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin
memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah untuk menuntut ilmu kepada seorang
atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Ilmu yang dituntut
umumnya ilmu agama, pengajarannya biasanya berlangsung di masjid-masjid atau di
rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di
istana atau di rumah penguasa tersebut, dengan memanggil ulama’ ahli kesana.
Pada masa daulah Abasiyyah ini, para penguasa sangat peduli
terhadap keilmuan. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan sangat banyak, diantaranya
yaitu: memfasilitasi pembangunan-pembanguan demi kemajuan keilmuan,
pembangunan pusat-pusat riset dan terjemah seperti baitul hikmah, majelis munadzarah
dan pusat-pusat studi lainnya.
Khalifah Ja’far al-Mansyur merupakan perintis dari gerakan
membangun ilmu secara besar-besaran. Setelah beliau mendirikan Baghdad (144
H/762 M) dan menjadikannya sebagai ibu kota negara. Beliau menarik banyak ulama
dan para ahli dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal di baghdad. Beliau
juga merangsang usaha pembukuan ilmu agama, seperti Fiqh, Tafsir, Tauhid,
Hadits, atau ilmu lain seperti ilmu bahasa dan ilmu sejarah. Akan tetapi yang
lebih mendapat perhatian adalah penerjemahan buku ilmu yang berasal dari luar.
Pada Masa khalifah Harun Ar-Rasyid, pemerintah sudah dapat
mengusahakan sendiri industri-industri kertas.Dengan demikian kertas yang
berlimpah telah ikut memacu perkembangan ilmu. Dalam bidang ekonomi,
pertahanan, industri dan perdagangan mengalami peningkatan yang luar biasa
sehingga dana yang meningkat dan melimpah ruah tersebut dapat menunjang
pengembangan ilmu. Bahan pengetahuan, baik tentang agama atau bukan, yang
tersimpan dalam ingatan atau tercatat dalam lembaran, telah cukup banyak
mendorong untuk segera diadakan penulisan ilmu secara lebih sistematis.
Pada zaman Khalifah Al-Makmun kemauan usaha
penerjemahan mencapai puncaknya dengan didirikannya “Sekolah Tinggi Terjemah”
di Baghdad, dilengkapi dengan lembaga ilmu yang disebut Bait al-Hikmah, suatu
lembaga yang dilengkapi dengan Observatorium, perpustakaan, dan badan
penerjemahan. Disinilah orang dapat mengenal
Hunain bin Ishaq (809-877 M), penerjemah buku kedokteran yunani, termasuk buku
ilmu kedokteran yang sekarang terdapat di berbagai toko buku dengan nama
“Materi Medika”. Hunain juga menerjemahkan buku Galen dalam lapangan ilmu
pengobatan dan filsafat sebanyak 100 buah ke dalam bahasa Syria, 39 buah ke
dalam bahasa Arab.Selain menerjemah beliau juga mengarang sendiri. Buku
karangannya dalam bahasa Arab dan Persia, banyak dijumpai, misalnya “Soal
Pengobatan” disusun secara soal tanya jawab. Bukunya yang ternama adalah
“Sepuluh Soal tentang Mata”.Buku ini disusun secara sistematis untuk
pelajar-pelajar ilmu mata (opthalmologi).
Al-Makmun juga membuat aturan untuk aktivitas
penerjemahan.Beliau memilih seorang penanggung jawab, yaitu Yohana
Al-Batriq.Dia membawa para penulis yang cerdas serta mengetahui bahasa Suryani
dan Yunani.Kemudian, beliau pun membawa para penerjemah besar.Buku-buku Aristoteles
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.Sebagian besarnya adalah buku-buku filsafat
dan ilmu logika.Buku-buku Euclid dalam matematika, Ptolomeus dalam
perbintangan, astronomi dan falak, Gelenus dan Hippocrates dalam
kedokteran.Sebagaimana beberapa buku diterjemahkan dari bahasa Persia dan India
di masa Harun Ar-Rasyid.Serta, buku-buku sejarah dari bahasa Persia pun
diterjemahkan pada masa Al-Makmun.
Kemajuan dalam bidang
keilmuan tersebut dikarenakan oleh:
1. Keterbukaan budaya umat
Islam untuk menerima unsur-unsur budaya dan peradaban dari luar, sebagai
konsekuensi logis dari perluasan wilayah yang mereka lakukan.
2. Adanya penghargaan,
apresiasi terhadap kegiatan dan prestasi-prestasi keilmuan
3. Terjadinya asimilasi
antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami
perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan.
4. Gerakan penterjemahan guna
menciptakan tradisi keilmuan yang kondusif.
Gerakan terjemahan
berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, masa khalifah al-Manshur hingga
Harun al-Rasyid. Banyak menterjemahkan karya-karya bidang astronomi dan
manthiq. Fase kedua, masa khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang
banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga,
setelah tahun 300 H terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang
ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.