WELCOME

S
elamat datang di Blog Saya :)

Kamis, 27 Desember 2012

sejarah keilmuan pada masa bani abbasiyah


Sejarah Berdirinya Bani Abbasiyah
Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani
Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini
adalah keturunan Abbas, paman nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh
Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbass. Dia dilahirkan di
Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal
132 H. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari tahun 750-1258 M.
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh negeri. Pemberontakan yang
paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara
pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah).
Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria,
berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan
Abbasiyah. 
 Kebijakan Penguasa dalam bidang keilmuan
Puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreatifitas Bani Abbasiyah sendiri. Sebagian diantarannya sudah dimulai pada awal kebangkitan islam. Lembaga pendidikan sudah berkembang, ketika itu lembaga pendidikan ini terdiri dari dua tingkat :
Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan, dan tempat para remaja belajar dasar-dasar agama, seperti tafsir, hadis, fiqh, dan bahasa.
Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah untuk menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Ilmu yang dituntut umumnya ilmu agama, pengajarannya biasanya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut, dengan memanggil ulama’ ahli kesana.[1]
Pada masa daulah Abasiyyah ini, para penguasa sangat peduli terhadap keilmuan. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan sangat banyak, diantaranya yaitu: memfasilitasi pembangunan-pembanguan demi kemajuan keilmuan, pembangunan pusat-pusat riset dan terjemah seperti baitul hikmah, majelis munadzarah dan pusat-pusat studi lainnya.
Khalifah Ja’far al-Mansyur merupakan perintis dari gerakan membangun ilmu secara besar-besaran. Setelah beliau mendirikan Baghdad (144 H/762 M) dan menjadikannya sebagai ibu kota negara. Beliau menarik banyak ulama dan para ahli dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal di baghdad. Beliau juga merangsang usaha pembukuan ilmu agama, seperti Fiqh, Tafsir, Tauhid, Hadits, atau ilmu lain seperti ilmu bahasa dan ilmu sejarah. Akan tetapi yang lebih mendapat perhatian adalah penerjemahan buku ilmu yang berasal dari luar.[2]
Pada Masa khalifah Harun Ar-Rasyid, pemerintah sudah dapat mengusahakan sendiri industri-industri kertas.Dengan demikian kertas yang berlimpah telah ikut memacu perkembangan ilmu. Dalam bidang ekonomi, pertahanan, industri dan perdagangan mengalami peningkatan yang luar biasa sehingga dana yang meningkat dan melimpah ruah tersebut dapat menunjang pengembangan ilmu. Bahan pengetahuan, baik tentang agama atau bukan, yang tersimpan dalam ingatan atau tercatat dalam lembaran, telah cukup banyak mendorong untuk segera diadakan penulisan ilmu secara lebih sistematis.[3]
Pada zaman Khalifah Al-Makmun kemauan usaha penerjemahan mencapai puncaknya dengan didirikannya “Sekolah Tinggi Terjemah” di Baghdad, dilengkapi dengan lembaga ilmu yang disebut Bait al-Hikmah, suatu lembaga yang dilengkapi dengan Observatorium, perpustakaan, dan badan penerjemahan. Disinilah orang dapat mengenal Hunain bin Ishaq (809-877 M), penerjemah buku kedokteran yunani, termasuk buku ilmu kedokteran yang sekarang terdapat di berbagai toko buku dengan nama “Materi Medika”. Hunain juga menerjemahkan buku Galen dalam lapangan ilmu pengobatan dan filsafat sebanyak 100 buah ke dalam bahasa Syria, 39 buah ke dalam bahasa Arab.Selain menerjemah beliau juga mengarang sendiri. Buku karangannya dalam bahasa Arab dan Persia, banyak dijumpai, misalnya “Soal Pengobatan” disusun secara soal tanya jawab. Bukunya yang ternama adalah “Sepuluh Soal tentang Mata”.Buku ini disusun secara sistematis untuk pelajar-pelajar ilmu mata (opthalmologi).[4]
Al-Makmun juga membuat aturan untuk aktivitas penerjemahan.Beliau memilih seorang penanggung jawab, yaitu Yohana Al-Batriq.Dia membawa para penulis yang cerdas serta mengetahui bahasa Suryani dan Yunani.Kemudian, beliau pun membawa para penerjemah besar.Buku-buku Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.Sebagian besarnya adalah buku-buku filsafat dan ilmu logika.Buku-buku Euclid dalam matematika, Ptolomeus dalam perbintangan, astronomi dan falak, Gelenus dan Hippocrates dalam kedokteran.Sebagaimana beberapa buku diterjemahkan dari bahasa Persia dan India di masa Harun Ar-Rasyid.Serta, buku-buku sejarah dari bahasa Persia pun diterjemahkan pada masa Al-Makmun.[5]
Kemajuan dalam bidang keilmuan tersebut dikarenakan oleh:
1.       Keterbukaan budaya umat Islam untuk menerima unsur-unsur budaya dan peradaban dari luar, sebagai konsekuensi logis dari perluasan wilayah yang mereka lakukan.
2.       Adanya penghargaan, apresiasi terhadap kegiatan dan prestasi-prestasi keilmuan
3.       Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan.
4.       Gerakan penterjemahan guna menciptakan tradisi keilmuan yang kondusif.
Gerakan terjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Banyak menterjemahkan karya-karya bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua, masa khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga, setelah tahun 300 H terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.


[1]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hal54.
[2] Sunanto, Prof. Dr. Hj. Musyrifah, Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta : Prenada Media, 2003, hlm 57.
[3]Ibid., hlm 56-57
[4]Ibid., hlm 79-80.
[5] Al-Isy, Dr. Yusuf, Dinasti Abbasiyah, Jakarta : Al-Kautsar, 2007, hlm 255.